Era Padjajaran
Ditahun 1488, daerah yang dinamakan Bandung sekarang adalah ibukota kerajaan Pajajaran. Tetapi dari temuan arkeologi, kita tahu bahwa kota Bandung merupakan tempat tinggal dari Australopithecus, Manusia Jawa. Manusia ini tinggal di disekitar Cikapundung sebelah utara Bandung dan di pesisir Danau raksasa Bandung. Artefak bebatuan masih dapat ditemukan di daerah Dago atas dan Museum Geologi telah memperlihatkan dan menyusun fosil-fosil yang ada beserta artefaknya.
Suku Sunda adalah masyarakat agamis yang bercocok tanam di daerah subur Bandung. Mereka mengembangkan tradisi dakwah yang hidup dan termasuk didalamnya yang masih dipraktikkan pertunjukan wayang golek dan pertunjukkan kesenian lain. "Ada sebuah kota yang disebut Bandung, terdiri dari 25 sampai 30 rumah," ditulis oleh Juliaen de Silva di tahun 1614.
Era Kolonialisme Belanda
Prestasi para petualang Eropa untuk mencoba peruntungan mereka di daerah subur dan makmur Bandung, akhirnya tercapai di tahun 1786 ketika sebuah jalan dibangun untuk menghubungkan Jakarta, Bogor, Cianjur dan Bandung. Jalur ini dikembangkan ketika di tahun 1809 Louis Napoleon, Raja Belanda, memerintahkan Gubernur Jenderal H.W. Daendels, untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan Inggris. Visinya adalah sebuah rantaian unit pertahanan militer dan sebuah jalan pasokan antara Batavia dan Cirebon. Tetapi daerah pantai berawa, dan akan lebih mudah untuk membangun jalan lebih ke selatan, melintasi dataran tinggi Priangan.
The Groote Postweg (Jalan Pos Besar) dibangun 11 mil ke utara dari ibukota Bandung. Dengan kecekatannya, Daendels memerintahkan agar ibukota dipindahkan dekat jalan. Bupati Wiranatakusumah II memilih letak di sebelah selatan jalan di Western Bank Cikapundung, dekat sumur suci, Sumur Bandung, yang diyakini dilindungi oleh Dewi Nyi Kentring Manik. Dilokasi ini beliau membangun dalem (istananya) dan alun-alun (pusat kota). Berdasarkan pengaturan tradisional, Mesjid Agung ditempatkan di sebelah barat, dan pasar rakyat di sebelah timur. Kediaman dan Pendopo (tempat berkumpul) berada di selatan menghadap ke gunung mistik Tangkuban Parahu. Disanalah kota Bunga lahir.
Sekira pertengahan abad ke-19, Kina Amerika Selatan, teh Assam, dan kopi diperkenalkan ke dataran tinggi Priangan. Diakhir abad, Priangan terdaftar sebagai daerah perkebunan tersubur di propinsi ini. Di tahun 1880 rel kerata api yang menghubungkan Jakarta dan Bandung telah rampung pengerjaannya, dan menjanjikan 2 1/2 jam perjalanan dari ibukota Jakarta ke Bandung.
Dengan perubahan gaya hidup di Bandung, hotel, cafe, toko berkembang pesat untuk melayani para pekebun yang turun dari perkebunannya atau yang naik dari ibukota ke daerah sejuk Bandung. Perkumpulan Concordia dibentuk dan dengan ballroomnya yang besar merupakan magnet yang menarik orang untuk melakukan aktifitas akhir pekan di kota Bandung. Hotel Preanger dan Savoy Homann merupakan pilihan utama hotel. Braga menjadi dipenuhi dengan toko-toko Eropa eksklusif.
Denga adanya jalur kereta api, industri kecil menjamur. Dahulu bahan mentah perkebunan dikirim langsung ke Jakarta untuk dikirimkan ke Eropa, sekarang proses pengolahan langsung dapat dilakukan secara efisien di Bandung. Bangsa Cina yang tidak pernah tinggal di Bandung berdatangan untuk membantu menjalankan fasilitas dan menjual mesin dan memberikan pelayanan ke industri baru. Kota Cina di Bandung pertama kali tercatat pada masa ini.
Ditahun pertama abad sekarang, Pax Neerlandica diproklamasikan, yang menghasilkan penyerahan pemerintah dari militer ke sipil. Dengan adanya kebijakan desentralisasi untuk meringankan beban administrasi pusat menjadikan Bandung sebagai kotamadya di tahun 1906.
Kejadian ini memberikan dampak yang besar bagi kota. Balai kota dibangun di ujung utara Braga untuk mengakomodir pemerintahan baru, terpisah dari sistem aslinya. Hal ini kemudian diikuti pembangunan dengan skala yang lebih besar ketika markas besar militer dipindahkan dari Batavia ke Bandung sekira tahun 1920. Lokasi yang terpilih adalah sebelah timur Balai Kota dan terdiri atas kediaman untuk Komando Kepala, Kantor, Barak dan perumahan dinas militer.
Pada awal 20-an, kebutuhan akan tenaga terlatih profesional mendorong berdirinya sekolah tinggi teknik yang didukung oleh warga kota Bandung. Disaat yang bersamaan rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung telah matang, kota diperluas ke daerah utara. Daerah ibukota ditempatkan di sebelah timur laut, sebuah daerah yang merupakan pesawahan, dan sebuah jalan besar direncanakan sejauh 2.5 km menghadap gunung Tangkuban Parahu dengan Gedung Sate di ujung selatan dan munumen kolosal diseberangnya. Dikedua sisi gedung bulevard besar tersebut dibangun rumah kantor raksasa pemerintah kolonial.
Sepanjang bank timur sungai Cikapundung dengan pemandangan alami terdapat kampus Technische Hoogeschool, asrama dan rumah dinas staff. Gedung lama kampus dan tamannya merefleksikan kejeniusan arsitek Henri Maclain Pont. Bagian barat daya digunakan untuk rumah sakit kotapraja dan Institut Pasteur, didekat pabrik kina dulu. Pembangunan ini secara hati-hati direncanakan untuk detail arsitektur dan pemeliharaannya. Pada tahun pendek tersebut sebelum Perang Dunia II merupakan jaman keemasan Bandung dan masa itu dikenang sekarang sebagai Bandung Tempoe Doeloe.
Era Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota Propinsi Jawa Barat. Bandung merupakan tempat terselenggaranya Konferensi Bandung pada tanggal 18-24 April 1955 dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan diantara negara-negara Asia Afrika, dan untuk menangkal perlakuan kolonialisme atau kolonialisme baru dari Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara penjajah baru.
dikutip dari www.bandungtourism.com
Diposting oleh ndra di Rabu, Mei 20, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar